27 Januari 2009

Belajar Menjadi Kuat dengan Puasa

Salah satu sikap yang ditanamkan saat kita melakukan puasa adalah berusaha menahan marah. Dalam sebuah hadits disebutkan, bila ada seseorang yang memancing kemarahan orang yang puasa, menurut Rasulullah, hendaknya ia mengatakan, “Sesungguhnya saya sedang puasa.”

Apakah kita dilarang marah? Tidak juga. Tak ada manusia yang bisa terlepas dari sikap marah. Rasulullah pun pernah marah. Dan karenanya marah bukan sesuatu aib dan tidak dianggap sebagai penyakit. Marah, dalam waktu tertentu, malah diharuskan. Rasulullah sangat marah bila melihat perintah Allah swt dilanggar. Al-Qur`an bahkan mencantumkan salah satu sifat sahabat Nabi adalah keras terhadap orang-orang kafir. Dan kekerasan adalah salah satu lambang kemarahan. Allah swt berfirman dalam surat al-Fath ayat 29, “ (Mereka) keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang sesama mereka.”

Kemarahan dalam beberapa ayat Allah dan anjuran Rasulullah memang dianjurkan. Sikap orang yang tak memiliki sikap marah dan sama sekali tidak berdaya termasuk sikap yang tidak baik. Imam Syafi’i mengatakan, ““Barangsiapa yang dibuat marah tapi ia tidak marah maka ia adalah keledai.” Begitulah.

Tapi tentu tidak berarti kita lantas mengobral kemarahan? Tidak berarti kemarahan harus dilepaskan tanpa kendali. Islam dengan segala kesempurnaan ajarannya telah meletakkan batas-batas marah yang diperbolehkan dan yang dilarang. Rasulullah saw tidak pernah marah oleh masalah yang skupnya adalah pribadi. Kejahatan dan kebengisan orang-orang kepadanya, yang bersifat menyakiti fisik beliau, sama sekali tak memancing kemarahannya. Yang muncul dari sikap orang-orang itu, justru kesantunan dan kepemaafan Rasulullah. Itulah Rasulullah yang dengan sikapnya tersebut, justru banyak menaklukkan kejahatan dan kekasaran terhadap dirinya hingga memunculkan rasa simpati dan hormat kepadanya.

Itu sebabnya, tatkala Abdullah bin Amr bertanya kepada Rasul tentang amal yang dapat menyelamatkannya dari murka Allah, Rasulullah mengatakan singkat, \"Janganlah kamu marah.\" (HR. Abu Ya’la) Rasulullah mengenal salah satu tabiat Abdullah yang kurang baik, yakni kurang bisa mengendalikan diri di saat marah. Terutama ketika menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan masalah pribadi. Karena itu beliau tegas menekankan nasihatnya agar Abdullah mampu mengendalikan amarah.

Itu pula sebabnya ada perkataan orang-orang shalih, \"Hindarilah kemarahan, karena ia akan menyeretmu pada hinanya meminta maaf.\"

Sifat marah yang sangat mendominasi dalam diri seseorang akan membawa orang tersebut melakukan berbagai hal yang lepas kendali pertimbangan akal, apalagi pertimbangan agama. Maka, Rasulullah sangat menghargai orang yang dapat menahan marah. Kekuatan seseorang, menurut Rasulullah dilihat dari seberapa kuat ia menahan gelegak amarahnya, ketika ada sesuatu masalah pribadi yang memancingnya untuk marah. \"Orang yang kuat itu bukan diukur dengan keperkasaan fisik, tapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya pada saat ia marah.\" (HR Bukhari dan Muslim)

Mari kita belajar menjadi orang kuat melalui puasa ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar